Sawang Sinawang

19 April 2023 - 4 Min. Read

Mari saling melihat.

Sawang Sinawang

Dalam duduk termenungmu yang terheran-heran akan gegap gempita kehidupan orang lain, ada riuh pemikiran orang yang lain lagi, yang memikirkan bagaimana bisa demikian indah hidupmu itu.

Ada saat, bukan; seharusnya setiap saat kita harus tau bahwa mungkin kehidupan kita saat ini menjadi cita-cita orang lain. Boleh jadi pula yang kita cita-citakan, yang kita inginkan dari melihat kehidupan yang lain, justru ternyata tidak semenarik itu. Hal yang mungkin menurut kita begitu sepele, rupanya sangat bermakna bagi orang lain. Bisa dibilang, ketika kita melihat pada jarak yang demikian jauh, memandangnya amat dalam, kita menjadi abai dengan apa yang ada di sekitar kita.

Dalam tangga tanpa batas, setapak demi setapak, dan tak terasa kita naik kian tinggi, kita kadang lupa bahwa dulu kita memulai pada anak tangga yang paling dasar. Waktu terasa amat relatif, perjuangan kita yang saat ini terasa melelahkan dan berjalan lambat, tiba-tiba ternyata kita sudah berada di atas, dan ribuan menit-menit itu ternyata sudah lewat. Siapa yang sangka bahwa mungkin sudah hampir setahun sejak terakhir kali kita menangis dan bersedih? Sekarang hidupnya sudah senang, yang diinginkan terpenuhi, bersiap dengan rasa haus yang lain. Menginginkan hal lain, yang nantinya juga akan tercapai, dan berulang-ulang hingga akhirnya kita semakin tua dan tutup usia.

"Kapan ya bisa begini? bisa begitu?" lalu benar-benar bisa, lalu menanyakan hal yang sama lagi. Kerap kali juga bertanya "Kapan ya bisa jadi seperti dia? Kok dia bisa ya?", di luar isi kepala kita yang begitu ramai dengan pesona orang lain. Ada juga, orang yang menanyakan hal yang sama dengan kita. Ada orang, yang terheran-heran, dengan kehidupan kita.

Tidak Nampak, Bukan Berarti Tidak Terjadi

Begitu mudah, bagi kita menilai seseorang dari amat sempit dan dangkalnya pandangan kita. Begitu ringan kita menyimpulkan keadaan yang bahkan kita tidak hadir disana. Hendaknya sebelum berkesimpulan, pastikan cakrawala yang sedang kita amati benar-benar absah; setidaknya diam jika kita tidak benar-benar tahu. Sayangnya mata kita tidak seluas muka bumi sehingga kita seharusnya tidak bisa dengan mudah menilai orang hanya dari sebuah pandangan.

Tidakkah menyedihkan seseorang dengan mudah menghakimi dari apa yang nampak? Apa yang terjadi kalau saja kita tidak bisa melihat sesuatu sama sekali? Tidakkah gagap terdiam? Di linimasa sekarang, seseorang dapat dinilai hanya dengan 15-60 detik yang ditampakkanya pada sosial media. Padahal ada 86400 detik dalam satu hari, dan dikalikan dengan ribuan hari seumur hidupnya, yang tidak kita lihat semuanya. Kita bukan Tuhan Yang Maha Tahu, maka kurang-kurangilah sikap sok-tahu.

Kita tidak hadir dalam setiap detik, hela nafas, kedipan mata, dan denyut nadi seseorang. Untuk berada dalam ruang yang sama saja tidak, apalagi melihat dan mengobservasi kehidupanya. Bahkan setiap orang punya ruang sendiri, orang lain tidak mampu masuk kedalamnya, juga tidak mengetahui ada apa didalamnya. Apakah kita masih pantas?

Berhenti, Lihat Diri Sendiri.

Kita kerap lupa bersyukur, ironisnya kita bahkan sering tidak hadir dalam kehidupan kita sendiri. Kita kerap menolak realitas, tergopoh-gopoh mencari kasur empuk yang kita sering sebut zona nyaman. Tidak jarang juga kita tenggelam di samudera luas kemalasan. Kita kurang berkaca, dan melihat diri sendiri.

Ruang kecil itu hancur, tidak terjaga kehangatanya, hilang, ditinggal. Sehingga ketika kita berlarian, tidak ada rumah untuk pulang ketika lelah. Ah, tapi tidak selalu demikian. Bisa jadi kita terlalu lama dalam ruang itu, berdiam, menutup mata, dan tidak pernah merawatnya sama sekali. Perlahan tidak sadar kita mati terbenam dalam lapuknya.

Harus ada waktu, dimana kita memperhatikan setiap partikel dalam diri kita. Supaya kita tahu bahwa setiap titik itu tidak terhitung jumlahnya, dan mengurangi keluhan-keluhan yang terlontar. Hal-hal itu tidak datang begitu saja, itu buah-buah dari tanaman yang sebagian tanpa sadar kita tanam sendiri.

Pada kemerlap sinar lentera, ada asap, panas, dan bara. Setiap orang, punya kusut kemelut hingga kabut dalam kehidupanya, yang tidak semua orang bisa lihat.

Ya, pada setiap senyum simpul orang, ada semrawut risau bahkan isak tangis yang tidak pernah kita tahu, hanya untuk sebuah senyum tersebut. Kita tidak tahu sebesar apa masalah yang orang lain sedang hadapi, yang harus kita tahu, setiap orang memiliki masalahnya masing masing.

Kita tidak harus menjadi pahlawan atau bahkan mesias. Kita hanya perlu sadar, seharusnya yang kita bereskan terlebih dahulu adalah masalah kita sendiri. Kita perlu tahu bahwa kita tidak bisa menjadi juru selamat bagi orang lain bila kita sendiri adalah korban celaka.

Bukan urusan kita perihal kehidupan orang lain, kita tidak akan pernah bisa menyamai. Jadi seharusnya biarkan saja. Semua orang bisa melampaui orang lain, atau juga bisa tertinggal. Itu dualisme yang tidak pernah lepas, dan tidak bisa dilepaskan. Biarkan saja terkalung dalam leher, seberat apapun rasanya.

Padahal mata adalah bagian tubuh termudah untuk mengindra, seharusnya melihat benda apapun di dunia ini, tidak menjadikan hidup lebih sukar.